Channel: @infonusa
Pemain Lombok Pertama Yang Main Untuk Timnas "Djunaidy Abdilah" 1968 | Sejarah Lombok
Diantara tujuh algojo pinalti itu, dia adalah salah satunya. Di bawah tatapan mata 120 ribu penonton, dia tunaikan tugas berat itu dengan sempurna, tendanganya meluncur deras menembus gawang lawan. Gol.
Djun, begitu ia biasa disapa, bersama dengan Iswadi Idris, Waskito, Oyong Liza, Andjas Asmara, Risdianto dan Sueb Rijal dipilih oleh Wiel Coerver, pelatih timnas kala itu sebagai salah satu penendang pinalti.
Dan seandainya saja tendangan pinalti Andjas Asmara, mampu menjebol gawang In Chol, Indonesia akan mencatat sejarah baru, untuk kedua kalinya, Indonesia akan lolos ke Olimpiade.
Pertandingan besar itu terjadi di stadion Senayan Jakarta pada 26 Februari 1976. Kala itu, Indonesia harus menghadapi Korea Utara dalam partai puncak Pra Olimpiade 1976. Setelah 2 x 45 menit bermain imbang, pertandingan harus disudahi dengan babak tos tosan. Hasil akhir adalah 6-4 untuk Korut. Indonesia pun gagal terbang ke Monteral Kanada.
Namanya lengkapnya Djunaidy Abdillah, lahir di Ampenan, 21 Februari 1948. Tercatat, ia adalah putra pertama asal Lombok yang berseragam Garuda. Di tim nasional, ia bermain dari tahun 1968 sampai dengan 1983.
Berposisi sebagai gelandang, Djunaidy Abdillah adalah pemain yang tidak tergantikan di level klub dan tim nasional. Permainanya elegan dan mempunyai umpan yang sangat terukur. Ia bermain dengan menggabungkan kecepatan, keterampilan, keseimbangan dan, tentu saja, bermain dengan hati dan keyakinan penuh yang, bertumpu pada dua kakinya.
Berkat permainanya itu, teman temanya banyak menjulukinya sebagai “George Best” – pemain Irlandia Utara yang ikut mengantar Manchester United meraih juara Champions League pada 1968.
Pada musim 1982 – 1983, musim ketiga Galatama, berkat umpan-umpan matang dan assist Djunaidy, Dede Sulaiman tampil sebagai top skor dengan mengumpulkan 17 gol. Pada musim pertama kompetisi (1979 – 1980), Hadi Ismanto sebagai pengumpul gol terbanyak dengan 22 gol, juga berkat umpan dan assist Djun.
“Dulu, banyak yang bilang, pemain berbahaya klub Indonesia Muda (IM) itu adalah Dede Sulaiman. Tapi, sesungguhnya pemain paling bahaya IM adalah Bang Djun, Djunaidy Abdillah,” kata Dede Sulaiman.
Sebelum bergabung dengan Indonsia Muda, Persebaya (1968-1974) dan Persija (1974-1979) adalah tim yang membesarkan namanya. Bersama dua tim besar itu, ia berhasil mengangkat piala Perserikatan.
Awal mula Djun bermain bola adalah saat ia mulai belajar menendang bola di halaman rumah ayahnya yang luas di Ampenan. Hingga kemudian bakat bermainya mulai terasah sejak masuk Dilkat Salatiga (1964-1966). Di Dilklat Salatiga, ia seangkatan dengan Oyong Liza dan Sartono Anwar.
Kemampuan Djunaidy Abdillah mulai terendus PSSI, bersama Oyong Liza, Djunaidy dipanggil masuk tim nasional junior. Bersama PSSI B, mereka berhasil menjadi runner-up Kejuaraan Junior Asia 1967 di bawah Israel. Ketika itu, Federasi Sepak Bola Israel masih tergabung di zona Asia.
Semenjak sukses itu, ia kerap menjadi langganan tim nasional Indonesia. Entah sudah berapa event dan pertandingan yang sudah ia lakoni bersama tim nasional. Namun yang pasti, namanya tercatat, sebagai salah satu pemain yang berhasil membawa Indonesia juara pada King's Cup Bangkok tahun 1969. Di final, Indonesia berhasil menundukan Myanmar dengan skor 1-0.
Pada tahun 1975, saat Wiel Couver, pelatih asal Belanda melatih Indonesia. Djunaidy Abdillah adalah pemain andalan dan kesayanganya. Berkat Wiel Couver lah, Djunaidy Abdillah mempunyai kesempatan untuk melawan tim tim besar seperti Manchester United dan Ajak Amsterdam.
Bahkan, Ajak Amsterdam dikabarkan sangat kepincut dengan gaya permainan Djunaidy Abdillah. Jika saja, saat itu, ia mendapat restu dari ketua PSSI, mungkin Djuanady Abdillah adalah pemain Indonesia pertama yang berseragam Ajak Amsterdam.
Djunaidy Abdillah, bermain terakhir untuk tim nasional pada Sea Games Singapura tahun 1983. Sempat menjadi pelatih Indonesia Muda (1984-1985) dan Persiba Balikpapan (1985-1987).
Karena alasan cidera paha, pada 1987 dunia sepak bola ia tinggalkan. Kemudian Djunaidy Abdillah bekerja sebagai karyawan Pertamina, hingga pensiun tahun 2003.
Risdianto, salah satu legenda sepak bola nasional, pernah berucap “Djunaidy Abdillah adalah manusia hebat. Dia seniman sepak bola. Djun pemain cerdas dan tahu apa yang harus dia akukan untuk kawannya. Di luar lapangan dia pribadi yang menarik dan menyenangkan,”